Senin, 16 Januari 2012

Sagittarius Dwarf Galaxy – Bintang Berekor Empat?

Interaksi galaktik bisa menyebabkan efek besar pada bentuk piringan galaksi. Lantas apa yang akan terjadi jika terdapat sebuah galaksi kecil yang bercampur dengan bagian dari Galaksi Bima Sakti? Hasilnya tidak cantik, mengacu pada pengamatan oleh Tim astronom Sergey Koposov dan Vasily Belokurov (Universitas Cambridge), akan terjadi sungai bintang mengalir dari galaksi tetangga, Sagittarius Dwarf Galaxy.
Peta yang menunjukkan sejumlah bintang yang termasuk ke dalam aliran Sagittarius. Garis putus-putus merah merupakan jejak aliran Sagittarius, dan elips biru di pusat menunjukkan lokasi Sagittarius Dwarf Galaxy. (kredit gambar: S. Koposov dan kolaborasi SDSS-III)
Dengan menganalisis data terbaru  dari Sloan Digital Sky Survey (SDSS-III), tim tersebut menemukan bahwa dua aliran bintang di belahan selatan galaksi yang tercerai berai dari Sagittarius dwarf galaxy. Penemuan ini juga menghubungkan penemuan sebelumnya, yaitu dua aliran yang terletak di belahan utara galaksi. Hal ini membuat Sagittarius seperti binatang yang memiliki empat ekor.
Koposov menjelaskan fenomena tersebut, jika galaksi kerdil jatuh ke galaksi yang lebih besar, membuat aliran atau ekor, bintang-bintang akan terdorong dari galaksi oleh gaya pasang surut yang sangat besar.
Sagittarius dwarf galaxydahulunya merupakan salah satu galaksi satelit paling terang. Sekarang ia berada di sisi lain Galaksi kita, dan sedang dalam proses tercerai berai karena gaya pasang surut. Diperkirakan bahwa Sagittarius dwarf galaxy kehilangan gas dan  separuh bintang-bintangnya lebih dari milyaran tahun yang lalu.  Sebelum dilakukan analisis data SDSS-III, diketahui bahwa Sagittarius memiliki dua ekor—satu di depan dan satu di belakang sisa-sisanya. Penemuan ini diperoleh dari citra SDSS yang secara spesifik studi tahun 2006 menemukan bahwa ekor Sagittarius di belahan galaksi utara tampak  sobek menjadi dua.
Ilustrasi seniman tentang empat ekor dari Sagittarius Dwarf Galaxy (gumpalan berwarna oranye di sebelah kiri gambar) mengorbit Bima Sakti. Matahari tampak berupa lingkaran kuning terang di sebelah kanan pusat Galaksi (skala tidak diperhitungkan). Kredit gambar: Amanda Smith (University of Cambridge)
Dengan menganalisis peta densitas lebih dari 13 juta bintang di data  SDSS, diketahui aliran Sagittarius di Selatan juga pecah sobek menjadi dua. Satu aliran lebih tebal dan terang, sedangkan aliran satunya lebih tipis dan redup. Aliran yang lebih redup lebih sederhana dan lebih miskin logam, sementara yang lebih terang lebih kompleks dan kaya akan logam.
Sementara itu, penyebab dari gaya pasang surut yang menghasilkan ekor galaksi tersebut belum diketahui. Astronom percaya bahwa kemungkinan Sagittarius dwarf galaxy merupakan bagian dari sistem galaksi ganda, seperti Awan Magellan Besar dan Kecil, yang tampak di belahan Bumi selatan. Meskipun penyebab ekor pada galaksi tersebut belum diketahui, bisa diketahui bahwa banyak galaksi yang lebih kecil yang tercerai berai atau diserap oleh Bima Sakti

Minggu, 08 Januari 2012

Bintang Yang “Tak Pernah Ada”





Bintang SDSS J102915+172927 yang memiliki elemen berat paling sedikit. kredit : ESO/Digitized Sky Survey 2
Bintang yang ditemukan para pengamat tersebut merupakan sebuah bintang redup di rasi Leo (Sang Singa) dan diberi nama SDSS J102915+172927. Ia adalah bintang yang ditemukan memiliki jumlah elemen berat paling sedikit dari semua bintang yang sudah dipelajari. Elemen berat disini maksutnya elemen yang lebih berat dari helium atau yang disebut sebagai elemen logam oleh astronom. Massa SDSS J102915+172927 lebih kecil dari Matahari dan usianya lebih tua dari 13 milyar tahun.
Berdasarkan teori, bintang bermassa rendah dan memiliki jumlah logam yang sangat sedikit tak seharusnya ada karena awan materi dari pembentuknya tidak akan dapat berkondensasi. Mengapa demikian?

Teori pembentukan bintang mnyebutkan bintang dengan massa rendah seperti SDSS J102915+172927 (sekitar 0,8 massa Matahari atau lebh rendah) hanya akan terbentuk setelah ledakan supernova memperkaya medium antar bintang di atas harga kritis. Ini dikarenakan elemen berat akan bertindak sebagai agen pendingin yang membantu untuk meradiasikan keluar panas dari awan gas yang akan runtuh untuk membentuk bintang. Tanpa elemen berat tersebut, tekanan yang disebabkan oleh panas akan sangat kuat dan gravitasi awan akan terlalu lemah untuk mengatasi tekanan tersebut. Akibatnya awan akan runtuh.  Salah satu teori menyebutkan, agen pendingin tersebut diidentifikasikan sebagau karbon dan oksigen. Dan di dalam bintang SDSS J102915+172927, jumlah karbon sangat sedikit bahkan lebih rendah dari jumlah minimum yang dibutuhkan agar ia bisa efektif bekerja sebagai agen pendingin.
Jadi penemuan bintang tersebut untuk pertama kalinya, menempatkan sang bintang pada “area terlarang”, yang artinya lagi, para astronom harus meninjau kembali model pembentukan bintang.
Menarik bukan? Ilmu pengetahuan tidak pernah statik.
Elemen Berat di SDSS J102915+172927
Analisa terhadap SDSS J102915+172927 dilakukan menggunakan X-shooter dan instrumen UVES di VLT. Para astronom kemudian mengukur kelimpahan berbagai elemen kimia yang ada di dalam bintang. Hasilnya cukup mengejutkan, karena elemen berat di SDSS J102915+172927 sangat sedikit dengan jumlah lebih dari 20000 kali lebih sedikit dibanding yang ada di Matahari.
Penelitian yang dipimpin oleh Elisabetta Caffau (Zentrum für Astronomie der Universität Heidelberg, Jerman dan Observatoire de Paris, Prancis) dan diawasi oleh Piercarlo Bonifacio (Observatoire de Paris, Prancis) memang memberi cerita menarik bagi pembentukan bintang. Karena bintang yang dianggap tak mungkin ada bisa ditemukan keberadaannya di alam semesta. Bintang SDSS J102915+172927 memang merupakan bintang redup yang miskin elemen berat atau logam. Dalam pengamatan pertama yang dilakukan oleh tim astronom ini mereka hanya bisa mendeteksi satu tanda keberadaan elemen berat yaitu kalsium.
Untuk menemukan lebih banyak tanda keberadaan logam di bintang tersebut, para peneliti kemudiann mengajukan penambahan waktu penggunaan teleskop ESO agar mereka dapat meneliti si bintang lebih detil dengan waktu eksposur lebih panjang.
Usia Bintang
Kosmolog berpedapat bahwa elemen kimia ringan yakni hidrogen dan helium terbentuk sesaat setelah Big Bang (Dentuman Besar), bersama dengan lithium. Sedangkan hampir semua elemen lainnya baru terbentuk kemudian di dalam bintang. Ledakan supernova-lah yang kemudian menyebarkan materi bintang ke medium antar bintang dan memperkaya medium antar bintang dengan logam. Bintang baru yang terbentuk dari medium ini akan memilki jumlah logam yang lebih  banyak dalam komposisi pembentuknya dibanding bintang tua. Itulah sebabnya jumlah logam di dalam bintang bisa memberikan informasi usia bintang.
Mengingat bintang SDSS J102915+172927 memiliki kandungan logam yang miskin, artinya ia tergolong bintang yang sangat primitif atau dengan kata lain bintang ini merupakan bintang tertua yang pernah ditemukan.
Yang mengejutkan adalah kurangnya lithium di SDSS J102915+172927. Bintang seperti ini seharusnya memiliki komposisi yang mirip dengan alam semesta sesaat setelah Big Bang, yang hanya memiliki sangat sedikit logam. Tapi para peneliti menemukan hal yang berbeda di bintang ini. Jumlah lithium di bintang SDSS J102915+172927 berkisar 50 kali lebih kecil dari yang diharapkan ada dari materi yang dihasilkan setelah Big Bang.
Jadinya bisa dikatakan kalau bintang ini masih menyimpan misteri mengapa lithium yang baru terbentuk di awal alam semesta bisa hancur di dalam bintang SDSS J102915+172927.
Tim ini juga berhasil mengidentifikasi lebih banyak lagi kandidat yang tampaknya memiliki ciri yang sama dengan SDSS J102915+172927 bahkan kemungkinan ada yang lebih rendah kandungan elemen beratnya. Untuk itu di masa depan para astronom akan melakukan pengamatan lebih lanjut dengan VLT (Very Large Telescope)

http://langitselatan.com/